Jumat, 10 Desember 2010

Luqathah (Barang Temuan)


Pengertian Luqathah
“Al-luqathah” menurut bahasa artinya barang temuan, sedangkan menurut istilah syara’ ialah barang yang ditemukan di suatu tempat dan tidak diketahui siapa pemiliknya.
Luqathah adalah barang yang hilang dari tangan pemiliknya,yang kemudian ditemukan orang lain.
Kebanyakan kata luqathah dipakai untuk barang temuan selain hewan. Adapun hewan disebut dhallah.

Dasar masalah ini adalah hadits yang diriwayatkan Zaid bin Khalid
“Lihatlah kemasanya dan pengikatnya, kemudian kenalkan (umumkan) selama one years, hingga datang pemiliknya, kalau tidak  datang maka barang itu terserah engkau”. Orang itu lalu berkata : “Bagaimana kalau kambing tersesat?” Rasulullah menjawab : “Apakah ia milikmu, atau saudara kamu (orang lain), atau binatang buas”. Orang itu lalu bertanaya lagi: “Bagaimana kalau unta sesat? “Rasulullah menjawab” :Biarkan dia, tak ada urusanya denganmu, dia mempunyai kantong minuman sendiri dan kakinya sudah bersepatu sendiri, ia mencari air dan memakan dedaunan pohon, sampai diketemukan oleh tuannya”. 

Rukun-rukun Al-Luqathah
Ø  Orang yang mengambil / yang menemukan (La’qit)
Ø   Benda/barang yang diambil (Malqut) 

Hukum Luqathah 
 Wajib, yakni wajib mengambil barang temuan bagi penemunya, apabila menurut keyakinan yang  menemukan barang itu, ia mampu mengurusnya dan terdapat sangkaan berat bila barang itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
b.       Sunnah, apabila orang tersebut percaya kepada dirinya bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu dengan sebagaimana mestinya tetapi bila tidak diambilpun barang –barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.
c.       Makruh, bagi seseorang yang menemukan barang, kemudian masih ragu-ragu apakah dia akan mampu mengurus barang tersebut.
d.      Haram, bagi orang yang menemukan suatu benda, kemudian dia mengetahui bahwa dirinya mempunyai ketamakan dan yakin betul bahwa dirinya tidak akan mampu memelihara barang tersebut.


Macam-macam barang temuan
  1. Benda yang nilainya tetap, seperti : emas, perak, uang, dan lain-lain
  2. Benda yang nilainya tidak tetap, seperti : makanan
  3. Benda yang memerlukan perawatan, seperti : padi
  4. Benda yang memerlukan nafkah, seperti : binatang
Kewajiban Bagi Orang yang Menemukan Barang
  1. Wajib menyimpan dan memelihara barang itu dengan baik
  2. Wajib memberitahukan dan mengumumkan kepada khalayak selama satu tahun
  3. Wajib menyerahkan barang tersebut kpd pemiliknya, apabila pemiliknya datang dan sanggup menyebutkan ciri2 barang
(Barang Temuan) Di Kawasan Tanah Haram
Adapun luqathah (barang temuan) di daerah tanah haram, maka tidak boleh dipungutnya kecuali dengan maksud hendak diumumkan kepada khalayak hingga diketahui siapa pemiliknya. Dan, tidak boleh memilikinya meskipun sudah melewati setahun lamanya mengumumkannya, tidak seperti luqathah di daerah lainnya

Dhallah Berupa Kambing dan Unta
Barangsiapa mendapatkan dhallah (barang temuan) berupa kambing, maka hendaklah diamankan dan diumumkan, manakala diketahui pemiliknya maka hendaklah diserahkan kambing tersebut kepadanya. Jika tidak, maka ambillah ia sebagai miliknya. Dan, siapa saja yang menemukan dhallah berupa unta, maka tidak halal baginya untuk mengambilnya, karena tidak dikhawatirkannya (tersesat).

(Barang Temuan) Berupa Makanan Dan Barang Yang Sepele
Barangsiapa yang mendapatkan makanan di tengah jalan, maka boleh dimakan, dan barang siapa menemukan sesuatu yang sepele yang tidak berkaitan erat dengan jiwa orang lain, maka boleh dipungut dan halal dimilikinya.
Dari Anas ra ia berkata: Nabi saw pernah melewati sebiji tamar di (tengah) jalan, lalu beliau bersabda, “Kalaulah sekiranya aku tidak khawatirkan sebiji tamar itu termasuk tamar shadaqah, niscaya aku memakannya.”

Senin, 10 Mei 2010

Ciuman Sang Ibu

Baru-baru ini penelitian tentang khasiat ciuman seorang istri bagi suaminya maupun seorang ibu bagi anak'nya. Sampel diambil dari kalangan peserta (suami) yang naik mobil pribadi untuk k'kantor dan d'bagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah para suami yang berangkat k'kantor dengan terlebih dahulu d'cium oleh sang istri,dan kelompok kedua aadalah mereka yang pergi k'kantor tanpa d'cium oleh sang istri. Setelah beberapa waktu d'temukan bukti yang menakjubkan. Suami yang pergi k'kantor dengan ciuman sang istrilebih memiliki kemungkinan kecil untuk mengalami kecelakaan d' perjalanan daripada mereka yang berangkat tanpa merasakan kecupan mesra sang istri. Ternyata kualitas dan antusias bekerja pun mengalami perbedaan yang cukup signifikan.

Kecupan tulus sang istri ketika memberangkatkan suami bekerja ternyata telah minimalkan kemungkinan hadirnya WIL (Wanita Idaman Lain).D'pihak lain, seorang anak yang d'berangkatkan ibu dengan kecupan sayang ternyata memberi dampak yang luar biasa dalam prestasi sekolahnya, bahkan kecupan tersebut mampu meredam kemarahan untuk tidak berkelahi d'sekolah daripada mereka yang d'berngkatkan oleh baby sister (pembantu). Percaya atau tidak, hal ini merupakan hasil suatu penilitian yang spektakuler mengenai ciuman sang ibu.

Ciuman atau kecupan sayang seorang ibu yang tulus merupakan bukti cinta dan keindahan yang mendalam dan kesetiaan yang teguh tanpa harus terurai dalam kata-kata. Dalam salah atu jurnal Psychology of women, d'sebutkan wanita memiliki kemampuan memprthankan cinta yang luar biasa d'bandingkan pria. Tidak heran jika d'dunia yang semakin berubah ini d'data sedemikian rupa akan tampak bahwa jumlah janda jauh lebih banyak daripada duda. Sekalipun banyak, namun dalam hal selingkuh jauh lebih banyak pria daripada wanita.

SURGA berada d'telapak kaki ibu, merupakan ungkapan yang sangat indah untuk menggambarkan eksistensi seorang wanita yang telah berperan ganda dalam kehidupannya; sebagai ibu dan istri.

Demikian agungnya sebutan yang d'berikan kepada seorang ibu, hingga kita sering lupa bahwa sekalipun surga d'telapak kaki ibu, namun kerapkali neraka yang justru berada d'mulut dan ucapan seorang ibu. Kekuata seorang ibu bukan berada dalam kuasa mulutnya, melainkan tangannya yang dingin dan hati yang tulus serta pikiran yang optimis untuk membangun bahtera yang telah d'rintis bersama sang suami. Keteladanan sang ibu tampak dari untaian indah doa-doa yang mengalir d'sertai air mata untuk menunjukkkan syukur dan permohonan kepada Sang Pencipta. Monumen keindahan kasih sang ibu d'bangun d'atas kecupan sayang, dekapan hangat dan cerita2 indah yang mengalir sejuk membentuk atmosfer kehangatan kasih d'rumah maupun d'luar.

"Kasih ibu kepada beta, tak terhingga sepanjang masa. Hanya memberi tak harap kembali bagai sang surya menyinari dunia."

Minggu, 25 April 2010

Kapas-Kapas di Langit

Garsini, remaja muslimah, sejak kecil selalu ingin membuktikan
kemampuannya dengan meraih prestasi demi prestasi. Awal tujuannya adalah
untuk menarik perhatian serta kasih sayang ayahnya yang seringkali
memperlakukannya kasar dan pilih kasih di antara tiga bersaudara. Terutama
dengan adik laki-lakinya, Ucok, yang mendapat perlakuan istimewa dari sang
ayah.
Berangkat dari ketakharmonisan rumah tangga orang tuanya, Garsini
berhasil membuktikan dirinya sebagai anak yang bisa dibanggakan. Lulus SMU,
ia kuliah di Universitas Indonesia. Semester tiga, ia berhasil meraih beasiswa
Monbusho dari pemerintah Jepang.
Garsini meninggalkan Tanah Air dengan satu tujuan; membuktikan
kepada dunia bahwa gadis Muslimah, berjilbab, akhwat seperti dirinya pun
mampu “berbicara di dunia internasional”. Di kalangan rekan-rekannya di
Universitas Tokyo, Garsini dikenal sebagai mahasiswi enerjik, jenius, taat
beribadah dengan busana unik, kepribadian tangguh.
Di kalangan para dosen, Garsini pun dihargai dan disayangi. Sehingga
ada seorang guru besar tamu di universitasnya, Profesor Charles del Pierro,
terkesan sekali dengan sosoknya dan menjadikannya asistennya. Dengan
dukungan yayasan sosial yang disponsori Profesor tua dari Perancis itu, mantan
tomboy ini menerbitkan kamus perbandingan antarbangsa-bangsa Asia, CD-nya
ala Garsini.
Pelbagai pengalaman selama di negeri sakura telah menempanya
menjadi sosok yang dewasa, tanpa meninggalkan kekaffahannya sebagai gadis
Muslimah. Adakah ia menerima khitbah dokter Haekal yang telah lama
dikenalnya sejak di Indonesia? Ataukah ia memilih tawaran bea-siswa dari
Universitas Sorbonne, berkat rekomendasi Profesor Charles del Pierro?




Bab 1
Tokyo, awal musim semi yang lembut dan hangat. Suara-suara keras dan
kehebohan itu muncul dari lantai bawah tempat tinggalnya. Sebuah asrama putri
di kawasan kampus Universitas Tokyo yang terkenal karena tradisi dan
historisnya. Ugh, apa yang terjadi? Rasanya baru beberapa menit aku tertidur.
Hampir sepanjang malam ia berkutat di depan komputer dengan
programnya. Perlahan gadis itu menggeliat malas, berharap dirinya hanya
terpengaruh mimpi. Tapi ketika keributan di bawahnya bukan menghilang,
sebaliknya bahkan terdengar semakin parah, pertanda sesuatu yang luar biasa
tengah terjadi. Berarti bukan ilusi, bukan pengaruh mimpi. Yap!
Ia tersentak bangun dan melemparkan selimutnya dengan sebal.
Sepasang matanya reflek melirik jam wekker di atas meja belajarnya. Baru pukul
enam, biasanya saat begini para penghuninya masih bergulung dalam selimut
tebalnya masing-masing. Dilihatnya ranjang di sebelahnya sudah kosong.
Bahkan Haliza, dara Malaysia yang kutu buku itu pun sudah beraktivitas?
Gadis yang melintas di pikirannya tiba-tiba muncul dari kamar mandi.
Terdengar senandungnya yang merdu. Ia masih mengenakan jubah mandi
dengan rambut terbalut handuk setelah keramas. Wajahnya segar dan berseriseri,
pertanda ia merasakan kebahagiaan dan kenyamanan hatinya. Tanpa
tekanan sama sekali!
“Mmh… segaar! Oyaho gozaimasu1, Garsini-san,” ujarnya mengajak
bercanda dalam nada riang tak dibuat-buat. Garsini mengucak-ucak matanya
yang masih berat lalu memandanginya keheranan. Ya, heran dengan semangat
dan gerak-geriknya yang tampak lebih lincah dari biasanya. Ia masih ingat saat
pertama kali mereka bertemu beberapa bulan yang lalu di daigaku2.
Haliza, saudara seiman berbusana Muslimah seperti dirinya, tampak agak
gelisah berdiri canggung di antara para gakusei3 baru. Mereka sedang diterima
1 Selamat pagi
2 universitas
3 mahasiswa
5
oleh panitia daigaku, khusus bagi para gakusei asing penerima beasiswa
pemerintah Jepang.
“Subhanallah!” seru dara jelita itu tertahan, kala Garsini menghampirinya
dan langsung berusaha berkomunikasi dengannya. Sementara rombongan kecil
itu mulai bergerak, dibimbing senior berkeliling sekitar fakultas, menunjukkan
berbagai fasilitas yang dapat mereka manfaatkan.
“Namaku Siti Haliza binti Haji Tun Abdul Razak dari Selangor,” bisik
Haliza kini dapat berjalan tegak di sebelah Garsini, menjejeri para gakusei asing
lainnya.
“Saya Garsini Siregar dari Depok, eeh… itu dekat Jakarta,” sahut Garsini.
Haliza mengaku terus terang, tak mengira bisa secepat itu bertemu
sesama Muslimah di Negeri Sakura. Dalam bilangan menit keduanya telah
akrab, perbedaan istilah antara bahasa Melayu dengan bahasa Indonesia taklah
menjadi masalah. Acapkali keduanya malah tertawa geli karenanya.
Sejak hari pertama berkenalan keduanya menjadi karib dan senantiasa
saling mengingatkan, menguatkan dalam setiap kesempatan. Sering rekan-rekan
sealmamater keheranan melihat kedekatan kedua gadis berjilbab itu. Apa itu
ukhuwah? Tentu saja para gakusei Jepang, juga mereka dari negara-negara non
islam itu tak pernah mengerti maknanya.
“Lekaslah shalat subuh tu!” sepasang alisnya yang indah terangkat.
“Sudah, tadi tidur lagi,” Garsini masih memandanginya, semakin terheranheran.
Haliza membuka balutan handuk, kemudian mengeringkan rambutnya
yang panjang bergelombang dengan hairdryer. Ini baru mahkota wanita terindah
yang pernah dilihat Garsini. Mengalahkan rambut para gadis shampo yang
bertaburan di layar kaca Indonesia.
“Mau bepergian rupanya, hemm?” Garsini baru menyadari keberadaan
ransel yang telah dikemas apik di sudut kamar mereka.
Haliza masih asyik dengan kesibukan pengeringan rambutnya. Mahasiswi
kedokteran yang mengaku takkan menikah dengan siapapun selain Mahathir
Rashid itu kemudian menyahut.
“Famili di Yokohama, mengundangku libur di rumah peristirahatannya…”
6
“Libur panjang!” tukas Garsini menyentak, membuat Haliza menoleh ke
arahnya. “Masya Allah, kok aku baru ingat ya?” Sesaat ia tampak bagai linglung.
Sementara Haliza menatapnya dengan cemas dan bimbang.
***
Rasanya belum lama mereka memasuki aktivitas perkuliahan di
Universitas Tokyo. Setelah sebelumnya pun ada hari-hari libur selama beberapa
pekan. Ia sempat sangat jenuh tanpa kegiatan sebelum memulai perkuliahan itu.
Haekal yang ambil spesialisasi di Universitas Waseda mengunjunginya
dan memberinya alternatif, agar ia tinggal di minshuku. Yaitu penginapan milik
keluarga. Sehingga ia bisa memanfaatkannya untuk belajar mengenal adat
kebiasaan orang Jepang. Sekaligus pula melancarkan bahasa Jepangnya yang
memang amat parah.
Garsini tahu, Haekal juga melakukan hal yang serupa, tapi sengaja
mengambil lokasi yang berbeda. Sehingga mereka tak bisa setiap saat bertemu,
hanya berkomunikasi melalui telepon dan internet. Ternyata medium itulah yang
kemudian menjadi alternatif komunikasi mereka di hari-hari selanjutnya. Dalam
beberapa bulan ini mereka bertemu bisa dihitung dengan jari.
“Aa Haekal mengambil spesialisasi haematologi. Dia akan mengawasimu
selama di Negeri Sakura.” Selly, adik Haekal dulu berkata demikian. Tapi itu
rasanya tak mungkin terwujudkan, sebab jadwal padat dan tekanan luar biasa
yang harus mereka hadapi dalam keseharian. Sesuatu yang jauh dari perkiraan
mereka di masa lalu.
Sekarang Aa Haekal juga takkan sempat mampir ke sini, gumam Garsini.
Itulah agaknya yang terbaik bagi keduanya.
“Gusti Allah amat mengasihi kalian, Anakku. Sebab kasih-Nya kepada
kalian, Dia tak membiarkan kalian bisa selalu dekat berduaan. Kebersamaan
kalian kan bisa mendatangkan fitnah, godaan nafsu.” Mama kerap berkata begitu
di telepon, menyemangatinya senantiasa dan mendoakannya tentu saja.
7
Tempo hari pemuda itu menelepon Garsini, memberi tahu tentang
rencana libur panjangnya. “Aku dan beberapa rekan akan melakukan kerja bakti
di pulau Pusan. Kami akan jihad di leprosium,” katanya riang seperti biasa.
“Di mana pulau Pusan dan apa itu leprosium?” tanya Garsini ingin tahu.
“Pulau Pusan wilayah Korea…”
“Korea… jadi Aa mo ke luar negeri?” Sayup nama Haekal terdengar
sudah dipanggil-panggil oleh kelompok baksos-nya. Telepon pun
memperdengarkan suara klik. Bagaimana rasanya menghabiskan liburan di
pulau yang dihuni oleh para penderita kusta, ya? Suara dokter muda itu
terdengar begitu bersemangat. Berbahagialah dia yang selalu merasa terpanggil
untuk bakti kemanusiaan.
***
Haliza mendadak berhenti, meletakkan alat pengering rambut di atas
dipannya dan menghampiri Garsini. Dipandanginya wajah Muslimah Indonesia
itu dengan cemas.
“Jangan katakan kau tak punya rencana bepergian… Pasti sudah punya
rencana khusus, ya kan? Mau ke mana? Kyoto atau Saporo? Ooh, suasana kuil
Budha di Nara musim semi begini…”
Apa Haliza lupa, kalau aku bukan anak orang berduit? Memang ada uang
saku yang kuterima per bulannya, tapi itu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya
demi kelancaran perkuliahan. Sementara gaya hidup di Jepang sangat mahal!
“Tidak, aku tidak tahu mau ke mana!” pintas Garsini terdengar agak
mengeluh dan balik menatapnya, kali ini disertai sedikit harapan. “Aku sama
sekali tak punya rencana ke mana-mana…”
“Bagaimana kamu bisa…” Haliza terheran-heran menatapnya.
“Oh, Haliza bagaimana kalau… ajak aku, ya, please?” pintanya terdengar
mengiba. Sungguh amat kontras dengan karakternya yang Srikandi!
Haliza terperangah dalam rasa bersalah. Garsini sesaat mengguncangguncang
lengannya, masih menatapnya dalam harapan. Tapi manakala
dilihatnya wajah cantik itu dikabuti rasa bersalah, sadarlah dirinya bahwa
8
harapannya hanya akan menyulitkan Haliza. Perlahan dilepaskannya tangan
gadis itu dan otaknya mulai sibuk menemukan gagasan.
Apa masih berlaku tawaran dari Nakajima-san sebagai relawan MeSci,
museum sains itu, ya? Lelaki tua itu mengingatkan Garsini kepada mendiang
kakeknya. Musim semi ini ia bermaksud mengunjungi keluarganya di Saporo. Ia
mencari relawan untuk menggantikannya, sementara dirinya bepergian ke luar
kota selama beberapa hari.
Mayumi-san, mahasiswi jurusan sastra yang menyampaikannya kepada
Garsini. Sahabat Jepun-nya itu relawan musiman di museum sains terbesar di
Jepang.
“Afwan, ya Garsini… Tentu mereka sudah merencanakan ini sejak lama.
Tak mungkin kan kalau tiba-tiba…” Suara Haliza terdengar terpatah-patah, minta
pengertiannya yang dalam.
“Tak apa, sudahlah… Jangan khawatir, Haliza,” tukas Garsini gegas
merangkul bahunya dan memeluknya erat. Ia kemudian bangkit dan berusaha
mengubah kemuraman wajahnya. Berjalan menghampiri ransel berukuran
sedang yang sudah siap menunggu pemiliknya membawanya kembara itu, ia
bertanya keheranan. “Hanya ini bawaanmu, hm…?”
“Mereka beramanat agar aku tak banyak bawaan. Semuanya sudah
disediakan, kata Mak Tuo tu… Ngng, masih famili Abang Rashid,” jelas dara
Malaysia itu dengan wajah memerah.
Garsini tersenyum paham. Ia tentu saja tak ingin mengganggu sebuah
keluarga yang hendak mempererat tali silaturakhim. Mereka keluarga calon
suami Haliza dan khusus mengundangnya. Tentu bukan sekadar undangan
biasa. Ada maksud lebih jauh di luar sekadar menampung seorang mahasiswi
yang ingin menikmati libur panjang.
“Sungguh kau tak apa-apa?” Haliza telah siap berangkat. Masih diliputi
perasaan bersalah, tapi ia pun tak mungkin membuyarkan rencananya. Garsini
telah menyegarkan diri, tampaknya siap pula hendak bepergian. Wajahnya
berseri-seri dan sarat percaya diri seperti biasa. Ia menggelengkan kepalanya.
9
”Aku baru ingat, sepupuku dari Holland akan libur di Tokyo. Sebaiknya
aku jalan saja, melihat-lihat hotel yang pantas untuknya.” Dalihnya tak dibuatbuat,
itu memang benar dan ia baru mengingatnya lagi kini.
Keduanya meninggalkan kamar, jalan bergandengan menyusuri koridor
yang telah lengang. Setelah beberapa saat lalu para gakusei yang kebelet
menikmati liburan musim semi, bertemperasan hampir secara serempak.
Ditunggu oleh taksi-taksi yang telah mereka panggil, dan secara serempak pula
mengklakson mereka tanpa ampun, hingga seolah balik menteror.
Mungkin karena sepagi itu mereka telah dipanggil. Padahal saat awal libur
musim semi begini nikmatnya berkumpul bersama anak dan istri di rumah, atau
merencanakan wisata ke tempat rekreasi yang sejak lama diidamkan.
***
Garsini tahu, pria dan wanita Jepang lebih suka menenggelamkan diri
dengan pekerjaannya. Fenomena work-cholic dari saat ke saat kian merata,
menyerbu seluruh lapisan masyarakat dan usia bangsa ini. Ada beberapa
pengalaman mulai dari yang lucu, aneh dan geli mengenai hal ini, dialami Garsini
selama mukim di Jepang.
Suatu hari Garsini melihat seorang nenek renta tengah sibuk
mengumpulkan sampah di pelataran eki, stasion kereta. Ia tengah jalan bareng
rekan-rekan kuliahnya dari berbagai bangsa, sebagian besar telah lama mukim
di sini. Jadi, ia paling yunior di antara lima gadis dan tiga pemuda yang baru
jalan-jalan di Shinjuku. Bermaksud balik ke Chofu dengan keiosen, kereta.
“What the matter with you, Miss Garusiniii…?” ledek Clarissa, gadis
Austria ikut merandek demi melihat Garsini menghentikan langkahnya. Miss
Garusini, demikian rekan-rekan Jepun kadang menyebutnya.
Garsini tertegun-tegun memperhatikan Abaasan, nenek renta yang tengah
mengumpulkan sampah. Ada karung besar teronggok tak jauh dari sang nenek.
Sementara ia begitu seksama dan cermat memperhatikan suasana sekitarnya.
10
Sang Pembersih, pikir Garsini sambil mengagumi gerak-geriknya yang
amat cekatan dan terampil. Dalam bilangan menit, ia telah memunguti lusinan
bekas softdrink di sekitarnya.
Mana ada pemandangan macam ini bisa ditemuinya di Jakarta atau
Depok. Coba bayangkan, orang Jepang yang terkenal sebagai turis pelit di
kawasan wisata Indonesia. Para pengusaha elektronik, para eksekutif arogan di
Jakarta. Menghuni apartemen canggih yang harga sewa per bulannya ribuan
dolar, berseliweran dengan mobil-mobil mutakhir keluaran pabrik negerinya…
Menuju gedung-gedung pencakar langit, tempatnya bekerja!
“Garsini, jangan norak dong, malu-maluin bangsa Indonesia aja!” Tasya si
Manado dari kejauhan memperingatkan Garsini.“Baru lihat orang Jepang kerja,
ya? Ups, tukang sampah nich yeee…!” cemoohnya dan bibirnya yang sensual
manyun.
Gadis ini hanya selang satu semester tingkatannya dari Garsini. Tapi, ia
sering merasa dirinya paling tahu, bahkan melebihi para seniornya. Sementara
kala itu, Garsini untuk ke sekian kalinya jalan bareng rekan-rekannya. Baru satudua
kali jalan seorang diri.
“Ssst, hati-hati kalau ngomong. Ini di negeri mereka,” bisik Garsini ketika
akhirnya Tasya jadi tertarik, balik menghampirinya dan menjejerinya.
Clarissa sudah bisa menebak apa yang ada dalam pikiran kedua gadis
Indonesia itu. Diam-diam ia kembali gabung dengan rekan-rekannya,
melanjutkan perjalanan. Sementara Abaasan semakin sibuk memunguti sampah,
bekas minuman dan kotak makanan. Karung di atas troli yang dijadikannya tong
sampah itu isinya sudah padat, tapi terus juga dipenuhinya dengan sampah yang
berhasil dipungutinya.
“Kasihan juga, ya…?” bisik Tasya menatap iba ke arah Abaasan yang kini
kelihatan susah payah mendorong trolinya. Tapi ia sama sekali tak berniat turun
tangan kecuali ada hal darurat yang bisa merubah keputusannya.
“Kita bantu, biar kerjaannya cepat selesai?” cetus Garsini merasa tak
tahan lagi.
11
“Ngng…” Tasya menyadari mereka sudah tertinggal jauh dari
rombongannya. Bagaimana kalau kesasar, berdua Garsini si pendatang di
tempat asing begini? Memang sih ia lebih dulu mukim di Negeri Sakura. Namun,
ia tak punya nyali untuk jalan seorang diri, selalu jalan bareng rombongan. Tasya
sungguh kaget saat diketahuinya kemudian Garsini sudah berani jalan seorang
diri. Bagaimana mungkin dirinya yang lebih senior bisa dilangkahi si anak
bawang, pikirnya terheran-heran.
Ketika Tasya mempertanyakannya, apakah Garsini tidak merasa takut
jalan sendirian di negeri asing? Garsini hanya tersenyum manis, bila terus
didesaknya barulah ia memberi jawaban yang ajaib di telinga Tasya.
“Kenapa mesti takut? Karena ada Allah Sang Maha Penunjuk, Dialah
yang senantiasa mengarahkan kaki-kakiku ini hingga tak nyasar…”
Ugh, dia kira aku tak punya Allah, pikir Tasya. Tapi Bapa dan anak
Allahku itu sudah lama tak pernah kutengok di gereja. Mungkin sejak
keluarganya pindah dari Manado ke Jakarta. Sejak Mami cerai dengan Papi,
anak-anak kemudian bertemperasan dititipkan ke sanak famili di pelosok Tanah
Air. Lindungi kami, anak-anak korban perceraian ortu, Bapa!
Garsini telah melesat ikut turun tangan, menjejeri nenek tua itu
mendorong trolinya. Tasya tak berhasil menemukan rombongannya lagi, jadi
terpaksa mengikuti jejak Garsini. Mereka pun asyik membantu sang Abaasan.
Sesekali berhenti, memunguti sampah yang sesungguhnya hanya satu-dua saja
tampak di sekitar mereka.
“Ahaaa… asyik juga bisa bantu orang Jepun itu, ya? Tanpa pamrih begini,
ada pahalanya, iya kan?” Tasya terengah-engah saat menghambur ke dalam
keiosen, kereta dari Shinjuku ke Chofu.
Garsini hanya tersenyum lega, bisa bergabung lagi dengan
rombongannya dalam satu gerbong, setelah hampir setengah jam membantu
Abaasan di pelataran eki. Rekan-rekannya hanya senyum-senyum kecil melihat
kelakuan kedua gadis belia itu, usia mereka masih tergolong teeneger, di bawah
duapuluh.
12
“Lihat, mereka mengucapkan terima kasih kepada kalian,” Clarissa
nyeletuk sambil menuding-nuding keluar jendela. Garsini melongokkan
kepalanya melalui jendela kaca di sampingnya. Tampaklah Abaasan dan
beberapa kakek yang tahu-tahu sudah bergabung dengan mereka, memunguti
sampah itu. Kini barisan lansia itu tersenyum senang dan melambai-lambaikan
tangan ke arah dirinya dan Tasya.
“Sayonara, ja mata…!” seru mereka bak dikomando saja.
“Apa katanya?” tanya Garsini bingung. Mulai mencium keanehan.
“Selamat tinggal, sampai jumpa lagi…” jawab Maria Linares, gadis Manila.
“Lain kali kalian harus lebih rajin mengumpulkan sampah bersama
mereka, ya?” sahut Clarisa sambil ngakak.
Geeerrr… rekan-rekan lainnya seketika tertawa terbahak-bahak.
Sepanjang sisa perjalanan itu, Tasya lebih banyak bersungut-sungut menyesali
kelakuan mereka. Sementara Garsini hanya mesem-mesem tulus. Ia baru tahu,
ada kebiasaan para lansia Jepang melakukan bakti sosial, antara lain
memunguti sampah pada hari libur atau saat-saat tertentu.
Jadi, Abaasan itu bukan tukang sampahlah, bo!
***
Kehebohan luar biasa itulah yang telah membangunkan Garsini dari
tidurnya di pagi buta. Sekarang asrama putri ini terasa lengang, senyap. Mungkin
tinggal mereka berdua yang belum angkat kaki dari tempat ini. Setidaknya dari
lantai dua, tempat tinggal sekitar seratus mahasiswa asing dari berbagai
warganegara.
“Sepupumu, ya?” Haliza melirik gadis itu, ingin tahu. Ada kebekuan
mengapung di tengah mereka. Garsini tak menyukainya. Ia cepat ingin
mengubah suasana hati mereka kembali. Dalam keriangan, semangat dan
keikhlasan seperti biasanya mereka rasakan selama ini.
“Iya, Peter, putra Tante Arnie yang mukim di Holland. Rasanya aku
pernah mengungkitnya kepadamu… Dia pernah berencana melanjutkan studi di
Jepang. Tapi entah mengapa urung. Ee, tahu-tahu kabarnya dia kini telah
menjadi seorang tentara Kerajaan Belanda,” katanya riang dan tulus.
Haliza tersenyum lega mendengar keriangan suara sohibnya.
“Baiklah, hati-hatilah dengan sepupumu itu,” bisik gadis Malaysia itu saat
akan berpisah di teras asrama. Semangat dan keriangan telah kembali mewarnai
wajahnya.
Sebuah taksi telah menantikan Haliza. Hanya pada kesempatan istimewa
saja para gakusei memanggil taksi, mengingat tarifnya tinggi. Takkan terjangkau
oleh uang saku yang mereka peroleh dari pemerintah Jepang melalui beasiswa.
Hari ini memang pengecualian. Mereka berhak bersenang-senang setelah
menjalani jadwal aktivitas yang begitu padat, sarat tekanan luar biasa. Hanya
kawula muda pilihan saja yang sanggup menjalani hari-hari “neraka” macam itu.
“Kaulah yang mesti hati-hati dengan keluarga Raja di Raja Malaysia tu,
Haliza,” balas Garsini dan ia sungguh mulai mencemaskan hasil kunjungan
sahabatnya kelak. Ia tak ingin melihat sohib tercinta terluka. “Dan kuharap kau
takkan… mmh, seandainya nanti…”
“Yeah… tolong restui aku, ya, Garsini?” tukas Haliza terdengar menghiba.
Keduanya berangkulan dan berpelukan erat. Seolah mereka takkan pernah
bersua kembali.
“Lekaslah masuk!” Garsini mendorongnya masuk taksi dan melemparkan
ranselnya ke jok belakang.
“Assalamualaikum,” ujar gadis Malaysia itu tertawa.
“Waalaikumussalam,” balas Garsini. Sebuah salam yang kerap keduanya
perdengarkan kala bertemu atau berpisah, dan membuat rekan mereka sering
keheranan atau hanya tersenyum maklum.
***

Senin, 19 April 2010

Ujian Hidup

Konon kabarnya,menurut para ahli mutiara yg mahal itu brasal dr masuk'y sebutir pasir k'dlm tiram yg terbuka. Pasir yg masuk ini trnyata mnimbulkan sakit yg luar biasa shingga untuk mnahan rasa sakit trsebut sang tiram membungkus pasir itu dengan "air liurnya" terus menerus selama bertahun-tahun. Secara tidak sadar telah menghadirkan mutiara yang indah dan mahal harganya.

Terkadang hidup ini perlu merasakan rasa sakit dan ujian bahkan jatuh hingga titik nol untuk menemukan esensi nilai hidup itu sendiri.Banyak orang menerjemahkan ujian hidup dan penderitaan sebagai suatu bagian dari kegagalan hidup. Itulah sebabnya ia mengatakan "No failure, only succces delayed". (Tidak ada kegagalan, melainkan hanya sukses yang tertunda).

Bagaimana memaknai setiap ujian hidup, menjadi sangat berarti bagi kita semua untuk meraih dan menikmati hikmahnya. Seorang rekan sesama trainer (instruktur) yang selalu aktif dengan omset besar pada akhir tahun lalu harus opname d'rumah sakit selama beberapa minggu karena serangan stroke ringan, selain itu beliau pun harus menjalani fisioterapi pasca opname. Rekan ini sangat bersyukur dengan kondisi sakitnya itu, karena menginap d'rumah sakit rupanya menjadi waktu yang indah untuk menikmati arti hidup dan tujuan hidup.

"Ternyata harta dan omset bukan segala-galanya. Bukankah ketika mati lampu adalah kesempatan bagi kita untuk menikmati indahya terang?" demikain tuturnya.

Apa masalah kita saat ini? Keluarga yang yidak harmonis? Anak yang susah d'atur? Uang yang selalu tidak cukup d'tengah-tengah kenaikan biaya hidup yang semakin tinggi? Atau karier yang tidak berjalan mulus?

Tampaknya,kita perlu merenungkan kembali bahwa matahari akan selalu tetap bersinar. Seandainya saat ini mendung, bukan berarti matahari berhenti bersinar. Mungkin ini kesempatan untuk menikmati keteduhan, barang sejenak melakukan refleksi hidup, atau Sang Pencipta hendak "berbicara" banyak kepada kita karena ketika kita sibuk ada kalanya suara-Nya nyaris tak terdengar. Cepat atau lambat mendung akan berlalu dan matahari akan menunjukkan wajahnya kembali. Kalaupun mendung menjadi hujan, habis hujan pasti tampak pelangi indah.